Era Milenial dan “Wabah” Kesepian

Di tengah dunia yang kian hiruk pikuk, ada kesepian yang mengalir membelah riuh

Kehidupan modern menuntut orang untuk terhubung dengan siapapun. Entah itu dengan kontak langsung maupun melalui media sosial. Bahkan penggunaan media sosial saat ini semakin menggila. Fitur-fitur yang tersedia membuat kehidupan satu orang dengan orang lain dapat saling terpapar jelas hanya dengan sentuhan pada layar.

Namun, di balik semua koneksi itu, ada ruang ruang kosong yang tersisa. Menjebak mereka yang ada di dalamnya untuk terkurung dalam tembok sepi yang tercipta dengan sendirinya. Mereka yang merasa sepi bukan berarti tidak memiliki teman atau kehidupan sosial. Hanya saja, begitu kehidupan sosial dalam keseharian usai, tak ada lagi jiwa tempat berpulang. Entah itu karena keluarga yang jauh, tidak memiliki teman dekat atau memang telah lama menikmati kehilangan.

Di Inggris, baru baru ini Perdana Menteri Inggris, Theresa May, menetapkan jabatan menteri baru untuk menangani warga yang merasa kesepian. Tracey Crouch ditunjuk sebagai Minister for Loneliness oleh Theresa May sebagai bentuk kepedulian pemerintah Inggris atas warganya yang banyak mengalami kesepian. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2017, sebanyak lebih dari 9 juta warga Inggris (14% dari populasi) merasa kesepian.

“Untuk kehidupan modern, ini adalah fakta yang menyedihkan.”

-Theresa May

Tidak hanya di Inggris, masalah kesepian juga menjadi masalah besar di Amerika. 40% orang dewasa di Amerika menyatakan mereka merasa kesepian. Bahkan berdasarkan penelitian, angka ini bisa jadi lebih besar dari yang dilaporkan. Kesepian bukan lagi sekadar penyebab orang posting mellow di media sosial. Kesepian bukan lagi sekadar penyebab para seniman menciptakan karya. Kesepian sudah menjadi bagian dari krisis yang lebih besar. Tidak hanya menyangkut kesehatan mental, namun juga kesehatan fisik.

Kesepian dan perasaan terisolasi meningkatkan risiko gangguan tidur, penggunaan obat-obatan terlarang, depresi dan bunuh diri. Merasa kesepian bisa meningkatkan hormon stres, tekanan darah, serta menurunkan kemampuan untuk bertahan dari tantangan hidup. Terlebih lagi, mempertahankan gaya hidup sehat juga sulit karena tidak adanya dukungan sosial.

Kesepian disinyalir menjadi “penyakit” yang banyak menjangkit manusia era milenial. Semakin ramainya populasi ternyata tidak menjamin setiap orang di dalamnya menjalani kehidupan yang sama ramainya. Cara orang menghadapi kesepian yang dihadapi memang berbeda-beda. Ada yang memilih untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan sehingga terkesan workaholic, ada yang memilih untuk lebih sering eksis di media sosial dan dengan cara lainnya. Masalahnya tetap sama, kesepian tidak memilih siapa yang akan dihampirinya.

“Tua atau muda, kesepian tidak pernah mendiskriminasi”

Kesepian memang bagian dari keberadaan manusia di dunia ini. Karena faktanya, tetap akan ada saat di mana orang akan menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Ketika kesepian itu sudah terlalu tinggi, maka ini sudah menjadi hal yang tidak sehat. Ada hal yang berubah dari masyarakat. Kurangnya interaksi, kurangnya kebersamaan dan meningkatnya aktivitas di media sosial mendukung tingginya angka mereka yang mengalami kesepian.

Ketika di Inggris, langkah yang diambil sudah sedemikian jauh, bagaimana dengan di Indonesia?

Baca series artikel Pijar Psikologi mengenai kesepian di sini!

Koes Ayunda Zikrina Putri

I write and read about psychology but i talk about football (a lot). Sometimes you may hear me on the radio. Enjoying life as Chief Creative Officer Pijar Psikologi.

Previous
Previous

Mengatasi Haus Eksis dengan Cara yang Positif

Next
Next

Memahami Mereka yang Haus Eksis di Media Sosial